HUKUM
PERDATA
PERIKATAN
OLEH
NAMA :
MISNIATI
NIM : 152.102.055
KELASSEMESTER :
V (LIMA)
BAB I
PENDAHULUAN
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah yang telah mengkaruniakan kita berbagai nikmat,
shalawat serta salam juga kita ucapkan atas Muhammad SAW serta sahabatnya dan
orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap
manusia akan selalu membuat, mengadakan, maupun melaksanakan perjanjian. Hampir
setiap aspek dari kehidupan manusia tidak dapat luput dari perjanjian.
Perjanjian telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Walau demikian ternyata
tidak semua orang mengerti makna dan pengaruh dari dibuatnya suatu perjanjian
bagi harta kekayaannya. Sampai seberapa jauh seseorang dapat membuat perjanjian
yang akan mengikat dirinya ataupun suatu pihak lain dalam kapasitas tertentu.
Perjanjian seperti apa yang mengikat, dan bagaimana cara membuatnya? Apakah ada
ketentuan khusus dan ketentuan umum dalam menyusun perjanjian, apa yang harus
dipenuhi? Apakah setiap perjanjian yang telah dibuat dengan maksud untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dari sisi akademis maupun praktis.
Akhir
kata penulis masih tetap berharap agar makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi teman-teman yang lainnya. Sumbang saran dan kritik dosen, dan teman-teman
sekalian sangatlah penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah ini lebih
lanjut.
Kuranji,
September 2012
Penulis
Misniati
Dalam
membahas tentang perikatan ini, bisa kita simpulkan berbagai rumusan masalahnya
yaitu :
1. Apa
yang menyebabkan terjadinya perikatan ?
2. Apa
saja ketentuan-ketentuan umum dalam hukum perikatan ?
3. Bagaimana
dampak yang terjadi dalam perikatan ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
perikatan dan unsur-unsurnya
Istilah perikatan merupakan terjemahan dari kata
verbintenis (Belanda). Namun ada ahli yang menggunakan istilah perutangan untuk
menerjemahkan kata verbintes (Sri Soedewi Masjchoen, tt: l). dalam bahasa
inggris disebut dengan obligation. Obligation hanya dilihat dari kewajiban
saja. Perikatan dapat dipandang dari dua segi, yaitu hak dan kewajiban.
Hal
yang mengikat itu adalah peristiwa hukum (rechtsefeiten) yang dapat berupa :
a. Perbuatan,
Misalnya, jual beli, utang-piutang, hibah
b. Kejadian,
misalnya kelahiran,kematian, pohon tumbang, kambing makan tanaman di kebun
tetangga.
c. Keadaan,
misalnya pekarangan berdampingan, rumah susun, kemiringan tanah pekarangan.
Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum
antara pihak yang satu dan pihak yang lain. Dalam hubungan hukum tersebut,
setiap pihak memiliki hak dan kewajiban timbal balik. Pihak yang satu mempunyai
hak untuk menuntut sesuatu terhadap pihak lainnya dan pihak lain itu wajib
memenuhi tuntutan itu, juga sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut sesuatu
disebut pihak penuntut (kreditor), sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan
disebut pihak yang dituntut (debitor). Sesuatu yang dituntut disebut prestasi.
Prestasi adalah objek perikatan, yaitu sesuatu yang
wajib dipenuhi oleh pihak yang dituntut (debitor) terhadap pihak penuntut
(kreditor). Prestasi selalu dapat dinilai dengan uang, dapat berupa pemenuhan benda
tertentu (misalnya, harta kekayaan), atau melakukan perbuatan tertentu
(misalnya, pekerjaan).
Ø Pengaturan
perikatan
Pengaturan perikatan didasarkan pada sistem terbuka,
maksudnya setiap orang boleh mengadakan periakatan apa saja, baik yang sudah
ditentukan namanya dalam undang-undang. Akan tetapi, sistem terbuka itu dibatasi
oleh tiga hal, yaitu:
a. Tidak
dilarang undang-undang
b. Tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, dan
c. Tidak
bertentangan dengan kesusilaan[1]
Para
ahli memberikan definisi perikatan sebagai berikut.
Nieuwenhuis
mengartikan perikatan sebagai :
“Hubungan
hukum harta kekayaan antara dua orang atau lebih, dimana pihak yang satu
(debitor) wajib melakukan prestasi, sedangkan pihak lain berhak atas suatu
prestasi.” (Nieuwenhuis, 1985:l).
pendapat
lain dikemukakan oleh C. Asser’s dan Sudikno Merto Kusumo. C. Asser’s
mengartikan perikatan sebagai :
“
Hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih berdasarkan
mana orang yang satu terhadap orang lainnya berhak atas suatu
penunaian/prestasi dan orang lain ini terhadap orang itu berkewajiban atas
penunaian/prestasi itu,” (Asser’s 1991 : 5).
Ciri
khas perikatan menurut Asser’s adalah, bahwa perikatan merupakan hubungan
hukum. Hubungan hukum adalah suatu hubungan yang diakui dan diatur oleh hukum.
Hubungan hukum yang diatur oleh hukum, seperti jual beli, sewa menyewa, tukar
menukar, dan lain-lain, sedangkan memenuhi undangan makan malam dan janji untuk
jalan-jalan bukan merupakan hubungan hukum. Namun, ia dikuasai oleh peraturan kesopanan.
1. Asas-asas
dan ketentuan umum tentang perjanjian
Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Rumusan yang diberikan tersebut hendak memperlihatkan kepada kita semua, bahwa
suatu perjanjian adalah :
a. Suatu
perbuatan.
b. Antara
sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang).
c. Perbuatan
tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji tersebut.[2]
Ø Dalam
pasal 1233 yaitu, tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, maupun
karena undang-undang. Pasal ini seharusnya menerangkan tentang pengertian
perikatan karena merupakan awal dari ketentuan hukum yang mengatur tentang perikatan.
Namun, kenyataannya pasal ini hanya menerangkan tentang dua sumber lahirnya
perikatan, yaitu :
a. Perjanjian,
dan
b. Undang-undang.
Perjanjian
sebagai sumber perikatan ini, apabila dilihat dari bentuknya, dapat berupa
perjanjian tertulis maupun perjanjian tidak tertulis. Sementara itu, sumber
perikatan yang berupa undang-undang selanjutnya dapat dilihat dalam pasal 1352,
yakni dapat dibagi atas :
a. Undang-undang
saja, maupun
b. Undang-undang
karena adanya perbuatan manusia.
Sumber
perikatan yang bersumber dari undang-undang karena adanya perbuatan manusia,
berdasarkan pasal 1353, juga dapat dibagi atas dua, yaitu :
a. Perbuatan
manusia yang sesuai dengan hukum/halal, dan
b. Perbuatan
manusia yang melanggar hukum.
Begitu
juga dalam pasal 1234 yaitu, tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Pasal
ini menerangkan tentang prestasi atau cara pelaksanaan kewajiban, yaitu berupa:
a. Memberikan
sesuatu
b. Berbuat
sesuatu, dan
c. Tidak
berbuat sesuatu.
Ø Perikatan-perikatan
untuk memberika sesuatu, dilihat pada Pasal 1235 yaitu dalam tiap-tiap
perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban debitur untuk
menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang
bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan. Kewajiban yang terakhir ini
adalah kurang atau lebih luas terhadap perjanjian-perjanjian tertentu yang
akibatnya mengenai hal ini akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan.
Pasal
ini menerangkan tentang perjanjian yang bersifat konsensual (yang lahir pada
saat tercapainya kesepakatan) yang objeknya adalah barang, dimana sejak saat
tercapainya kesepakatan tersebut, orang yang seharusnya menyerahkan barang itu harus tetap merawat
dengan baik barang tersebut sebagaimana layaknya memelihara barang kepunyaan
sendiri, sama halnya dengan merawat barang miliknya yang lain, yang tidak akan
diserahkan kepada orang lain. Kewajiban merawat dengan baik, berlangsung sampai
barang tersebut diserahkan kepada orang yang harus menerimanya.
Dalam
ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan
nyata, baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya
dalam bentuk fikiran semata-mata. Atas dasar inilah kemudian dikenal adanya
perjanjian konsensuil, perjanjian formil, dan perjanjian riil.
Dalam
perjanjian konsensuil, kesepakatan yang dicapai oleh para pihak secara lisan,
melalui ucapan saja telah mengikat para pihak. Dalam jual beli, sebagaimana
dapat kita baca dari rumusan Pasal 1457 dan Pasal 1458 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata yang menyatakan bahwa :
a. Pasal
1457 : jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang dijanjikan.
b. Pasal
1458 : jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera
setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta
harganya, meskipun harga itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.
2. Syarat-syarat
sahnya perjanjian
Pada uraian sebelumnya
telah dikatakan bahwa syarat-syarat sahnya perjanjian dapat kita temukan dalam
ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi :
Untuk sahnya perjanjian-perjanjian,
diperlukan empat syarat :
a. Kesepakatan
mereka yang mengikat dirinya.
b. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan.
c. Suatu
pokok persoalan tertentu.
d. Suatu
sebab yang tidak terlarang.
Unsur-unsur
perikatan sebagai berikut :
v Subjek
perikatan
Subjek perikatan disebut juga pelaku perikatan.
Perikatan yang dimaksud meliputi perikatan yang terjadi karena perjanjian dan
karena ketentuan undang-undang. Pelaku perikatan dapat terdiri atas manusia
pribadi dan dapat juga badan hukum atau persekutuan. Setiap pelaku perikatan
yang mengadakan perikatan harus :
a. Ada
kebebasan menyatakan kehendaknya sendiri.
b. Tidak
ada paksaan dari pihak manapun.
c. Tidak
ada penipuan dari salah satu pihak, dan.
d. Tidak
ada kekhilafan pihak-pihak yang bersangkutan.
Pelaku
perikatan dalam hubungan keluarga dapat berstatus sebagai pengasuh dan anak
asuh, misalnya dalam hubungan orang tua dan anak, wali dan anak asuh, ataupun
pengasuh bayi (baby sitter) dan bayi asuhan. Pelaku perikatan dalam hubungan
perkawinan dapat berstatus sebagai suami dan istri, misalnya, pemberian nafkah
dan pendidikan oleh suami kepada istri dan anak-anaknya. Pemberian perlindungan
dan keselamatan oleh suami kepada istri dan anak-anaknya, ataupun pelayanan
oleh istri terhadap kebutuhan suami dan anak-anaknya dalam keluarga.
Pelaku
perikatan dalam hubungan pewarisan dapat
berstatus sebagai pewaris dan ahli waris, misalnya pembagian harta waris
peninggalan pewaris kepada ahli waris. Pelaku perikatan dalam pewarisan dapat
berstatus sebagai pemberi wasiat dan penerima wasiat, misalnya pembagian harta
waris, bagian penerima wasiat tidak boleh merugikan bagian ahli waris.
v Wenang
berbuat
Setiap pihak dalam
perikatan harus wenang berbuat menurut hukum dalam mencapai persetujuan
kehendak (ijab kabul). Persetujuan kehendak adalah pernyataan saling memberi
dan menerima secara riil dalam bentuk tindakan nyata, pihak yang satu
menyatakan memberi sesuatu kepada dan menerima sesuatu dari pihak lain, dan
pihak lain juga menyatakan memberi sesuatu kepada dan menerima sesuatu dari
pihak yang satu tentang isi perikatan. Dengan kata lain, persetujuan kehendak
(ijab kabul) adalah pernyataan saling memberi dan menerima secara riil yang
mengikat kedua pihak.
Setiap pihak dalam
perikatan harus memenuhi syarat-syarat wenang berbuat menurut hukum yang
ditentukan oleh undang-undang sebagai berikut :
a. Sudah
dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun penuh.
b. Walaupun
belum dewasa, tetapi sudah pernah menikah
c. Dalam
keadaan sehat akal (tidak gila).
d. Tidak
berada dibawah pengampunan, dan.
e. Memiliki
surat kuasa jika mewakili pihak lain.
Persetujuan kehendak menyatakan saat
kedua pihak terikat untuk saling memenuhi kewajiban dan saling memperoleh hak
dalam setiap perikatan. Persetujuan kehendak juga menentukan saat kedua pihak
mengakhiri perikatan karena tujuan pihak-pihak
sudah tercapai. Misalnya, dalam perikatan jual beli kendaraan bermotor,
terjadinya perikatan jual beli baru dalam taraf
menimbulkan kewajiban dan hak masing-masing pihak. Kewajiban dan hak
kedua pihak baru dapat dilaksanakan pemenuhannya sejak terjadi persetujuan
kehendak. Artinya, pembeli melakukan pembayaran harga dan penjual menyerahkan
kendaraan bermotor dalam keadaan baik. Sejak kedua pihak selesai memenuhi
kewajiban dan memenuhi kewajiban dan memperoleh hak masing-masing, sejak itu
pula tujuan kedua pihak tercapai dan mengakhiri perikatan (akad).
Oleh sebab itu, dapat dinyatakan bahwa
perikatan menurut system hukum perdata, baru dalam taraf menimbulkan kewajiban
dan hak pihak-pihak, sedangkan persetujuan kehendak adalah pelaksanaan atau
realisasi kewajiban dan hak pihak-pihak sehingga kedua belah pihak memperoleh
hak masing-masing. Penjual memperoleh pembayaran harga kendaraan bermotor,
sedangkan pembeli memperoleh kendaraan bermotor. Sejak pihak-pihak memperoleh
hak masing-masing itu, sejak itu pula perikatan mencapai tujuan dan berakhir
dengan sukses.
Bagaimana halnya jika salah satu pihak
tidak memenuhi kewajibannya sehingga pihak lainnya tidak memperoleh hak dalam
perikatan ? dalam hal ini dikatakan bahwa pihak yang tidak memenuhi
kewajibannya itu telah melakukan wanprestasi yang merugikan pihak lain. Dengan
kata lain, pelaksanaan hak dan kewajiban yang disepakati tidak mencapai tujuan
secara normal. Oleh karena itu, pihak yang wanprestasi wajib bertanggung jawab
kepada pihak yang dirugikan untuk mengganti kerugian terhadap pihak lain yang
haknya dirugikan, baik melalui perdamaian maupun melalui penyelesaian di muka
pengadilan.
v Objek
perikatan (prestasi)
Objek
perikatan dalam hukum perdata selalu berupa benda. Benda adalah objek setiap
barang dan hak halal yang dapat dimiliki dan dinikmati orang. Dapat dimiliki
dan dinikmati orang maksudnya member manfaat atau mendatangkan keuntungan
secara halal bagi orang yang memilikinya, misalnya kendaraan bermotor, rumah,
perhiasan, makanan, hak kekayaan intelektual, dan piutang. Selain itu, benda
dapat berupa benda berwujud, yaitu benda yang dapat diraba, dilihat, atau adda
bentuk nyata, seperti buku, rumah, atau kendaraan bermotor. Sedangkan benda
tidak berwujud, yaitu benda yang tidak dapat dilihat, seperti hak milik, hak
guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak cipta, hak merek, dan hak paten.
Benda
objek perikatan harus benda perdagangan sesuai dengan undang-undang, ketertiban
umum, dan kesusilaan masyarakat, dan bermanfaat. Benda yang dilarang untuk
diperjualbelikan secara umum karena merugikan jasmani dan rohani, antara lain
narkoba, ganja, miras, bendda mendatangkan mudharat, seperti mengandung racun,
formalin, virus flu burung, bibit antraks, bibit penyakit sapi gila, buku
forno, ilmu santet, ilmu sihir, ilmu hipnotis, ataupun benda hasil kejahatan,
semua itu dilarang, tidak boleh dijadikan objek perikatan.
v Tujuan
perikatan
Tujuan pihak-pihak
mengadakan perikatan adalah terpenuhinya prestasi bagi kedua belah pihak.
Prestasi yang dimaksud harus halal, artinya tidak dilarang undang-undang, tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan
masyarakat.
1. Adanya
hubungan hukum
2. Adanya
dua pihak, yaitu pihak kreditor dan debitor. Kreditor adalah orang atau badan hukum
yang berhak atas suatu prestasi. Pihak debitor, yaitu orang atau badan hukum
yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi.
3. Adanya
hak dan kewajiban
4. Adanya
prestasi
5. Dalam
bidang hukum harta kekayaan
Prestasi
adalah apa yang menjadi pokok perikatan. Misalnya, dalam perjanjian jual beli
rumah yang menjadi pokok perikatannya adalah menyerahkan hak milik atas rumah
kepada pembeli, dan pembeli menyerahkan uang kepada penjual. Contoh lainnya
dalam perjanjian kerja, maka yang menjadi perikatan (prestasi) adalah melakukan
pekerjaan dan menyerahkan upah.
B. Jenis-jenis
perikatan
Pada
dasarnya jenis perikatan dapat dibedakan menjadi dua jenis :
Perikatan
perdata (obligation verbintenis) dan perikatan wajar (natuurlijk verbintenis).
Perikatan perdata atau disebut juga dengan obligation verbintenis adalah suatu
perikatan yang dapat ddituntut di muka dan dihadapan pengadilan manakala salah
satu pihak atau lebih telah melakukan wanprestasi. Contoh, A berutang kepada B
sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan berjanji akan membayarnya
pada tanggal 25 januari 1996. Namun,
pada tanggal tersebut A tidak membayar utangnya. Ada dua tindakan yang dapat
dilakukan oleh B, yaitu :
a. Memberikan
teguran atau somasi sebanyak 3 kali kepada A dan
b. Apabila
teguran itu tidak diindahkan, maka B dapat menuntut/meminta kepada pengadilan
supaya A dapat melunasi utangnya pada B, sesuai dengan kesepakatan yang telah
dibuat diantara mereka. Perikatan wajar atau natuurlijk verbintenis adalah
suatu perikatan yang timbul karena adanya perjudian. Perikatan seperti itu
tidak dapat dituntut di depan pengadilan. Namun secara moral pihak si berutang
berkewajiban untuk melunasi utangnya.
Perikatan perdata
dibagi menjadi enam jenis, yaitu :
a. Perikatan
bersyarat
Dapat
dilihat pada Pasal 1253 yaitu, suatu
perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa
yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, baik secara
menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara
membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Pasal
ini menerangkan tentang perikatan bersyarat, yaitu perikatan yang lahir atau
berakhirnya digantungkan pada peristiwa yang mungkin akan terjadi. Berdasarkan
pasal ini dapat diketahui bahwa perikatan bersyarat dapat dibedakan atas dua,
yaitu :
·
Perikatan dengan syarat tangguh, dan
·
Periakatan dengan syarat berakhir.
Walaupun
dimungkinkan periakatan dibuat dengan bersyarat, syarat tersebut harus syarat
yang masuk akal dan tidak terlarang baik oleh kesusilaan maupun oleh
undang-undang.
Ketentuan
ini tampaknya dimaksudkan untuk menghindari seseorang untuk berbuat sesuatu
yang tidak masuk akal, bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan
undang-undang hanya karena dorongan untuk lahirnya atau berakhirnya suatu
perjanjian.
b. Perikatan
berdasarkan ketetapan waktu
Dalam pasal 1268 dapat
dilihat yaitu, suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan
hanya menangguhkan pelaksanaannya. Ini berari bahwa perjanjian dengan ketetapan
waktu ini pada dasarnya perikatan telah lahir, hanya saja pelaksanaannya yang
tertunda sampai waktu yang ditentukan.
Sebagai contoh, kalau
kita mengadakan perjanjian dengan pihak lain kemudian disepakati bahwa
perjanjian tersebut mulai berlaku atau penyerahan barang yang diperjanjikan
tanggal 1 januari tahun depan.
c. Perikatan
alternative
Dalam
Passal ini bisa kita ketahui yaitu, Tentang perikatan-perikatan manasuka
debitur dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang
disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak dapat memaksa kreditor untuk
menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari baranga yang lainnya.
Dalam
perikatan alternative ini debitur telah bebas jika telah mnyerahkan salah satu
dari dua atau lebih barang yang dijadikan alternative pembayaran. Misalnya,
yang dijadikan alternative adalah dua ekor sapi atau dua ekor kerbau, maka
kalau debitur menyerahkan dua ekor kerbau saja, debitur telah dibebaskan.
Walaupun demikian,
debitur tidak dapat memaksa kepada kreditor untuk menerima sebagian barang
lainnya. Jadi, debitur tidak dapat memaksa kreditor untuk menerima seekor sapi
dan seekor kerbau.
d. Perikatan
tanggung renteng
Dalam
Pasal 1278 yaitu suatu perikatan tanggung menanggung atau perikatan tanggung
renteng terjadi antara beberapa orang kreditor, jiuka di dalam perjanjian
secara tegas kepada massing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan
seluruh utang sedang pembayaran yang dilakukan kepada salah satu membebaskan
debitur meskipun perikatan menurut sifatnya dapat dipecah dan dibagi diantara
beberapa orang kreditor tadi.
Dalam
perjsnjian yang pihak kreditornya terdiri atas beberapa orang, dapat dilakukan
secara tanggung-menanggung asal ditegaskan dalam perjanjian, yatu bahwa semua
kreditor masing-masing dapat meminta pelunasan seluruh utang dari debitur.
Dengan demikian, pelunasan utang tersebut kepada salah seorang kreditor, maka debitur akan
bebas terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hal ini berlaku, walaupun terhadap
piutang yang berdasarkan sifatnya dapat dibagi-bagi kepada para kreditor,
misalnya si Y berutang Rp. 3.000.000,00 kepada P, Q, dan R, walaupun uang
tersebut dapat dibagi tiga masing-masing Rp. 1.000.000,00 kepada masing-masing
P,Q, dan R. apalagi akalu sifat piutang tersebut memang tidak dapat dibagi.
salnya si X berutang seekor kuda kepada si A,B dan C. piutang semacam ini jelas
tidak dapat dibagi kepada masing-masing A, B
e. Perikatan
dapat dibagi-bagi dan tak dapat dibagi-bagi
f. Perikatan
dengan ancaman hukuman (Pasal 1253 KUH Perdata s.d Pasal 1312 KUH Perdata).
C. Somasi
1. Dasar
hukum dan pengertiannya
Istilah pernyataan
lalai atau somasi merupakan terjemahan dari ingebrekestelling. Somasi ini
diatur di dalam Pasal 1238 KUH Perdata dan Pasal 1234 KUH Perdata. Somasi
adalah teguran dari si berpiutang (kreditor) kepada si berutang (debitor) agar
dapat memenuhi prestasi prestassi sesuai dengan isi perjanjian yang telah
disepakati antara keduanya.
Somasi timbul
disebabkan debitor tidak memenuhi prestasinya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Ada tiga cara terjadinya somasi itu, sebagai berikut :
a. Debitor
melaksanakan prestasi yang keliru, misalnya kreditor menerima sekeranjang jambu
seharusnya sekeranjang apel.
b. Debitor
tidak memenuhi prestasi pada hari yang
telah dijanjikan. Tidak memenuhi prestasi dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu kelambatan melaksanakan prestasi dan sama sekali tidak memberikan
prestasi. Penyebab tidak melaksanakan sama sekali karena prestasi tidak mungkin
dilaksanakan atau karena debitor terang-terangan menolak menolak memberikan
prestasi.
c. Prestasi
yang dilaksanakan oleh debitor tidak lagi berguna bagi kreditor setelah lewat waktu yang diperjanjikan.
D. Prestasi
dan Wanprestasi
1. Konsep
prestasi
Prestasi adalah sesuatu
yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek
perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai
jaminan harta kekayaan debitor. Dalam pasal 1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan
bahwa harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang aka nada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya
terhadap kreditor. Namun, jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus
berupa benda tertentu yang dittetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan pasal
1234 KUHPdt, selalu ada tiga kemungkinan wujud prestasi, yaitu :
a. Memberikan
sesuatu, misalnya menyerahkan benda, membayar harga benda, dan memberikan hibah
penelitian.
b. Melakukan
sesuatu, misalnya membuatkan pagar pekarangan rumah, mengangkut barang
tertentu, dan menyimpan rahasia perusahaan.
c. Tidak
melakukan sesuatu, misalnya tidak melakukan persaingan curang, tidak melakukan
dumping, dan tidak menggunakan merek orang lain.
2. Sifat
prestasi
Prestasi adalah objek
perikatan. Supaya objek perikatan itu dapat dipenuhi oleh debitor, maka perlu
diketahui sifat-sifatnya yaitu :
a. Prestasi
harus sudah tertentu atau dapat ditentukan
Sifat ini memungkinkan
debitor memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak tertentu atau tidak dapat
ditentukan, mengakibatkan perikatan itu batal (nietig)
b. Prestasi
itu harus mungkin
Artinya, prestasi itu
dapat dipenuhi oleh debitor secara wajar dengan segala upayanya. Jika tidak
demikian, perikatan itu dapat dibatalkan (vernietigbaar).
c. Prestasi
itu harus dibolehkan (halal)
Artinya, tidak dilarang
oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak
bertentangan dengan kesusilaan masyarakat. Jika prestasi tidak halal, perikatan
itu batal (nietig).
d. Prestasi
itu harus ada manfaat bagi kreditor
Artinya, kreditor dapat
menggunakan, menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan
itu dapat dibatalkan. (vernietigbaar).
e. Prestasi
itu terdiri atas satu perbuatan atau serentetan perbuatan
Jika prestasi berupa
satu kali perbuatan dilakukan lebih dari satu kali, dapat mengakibatkan
pembatalan perikatan (vernietigbaar). Satu kali perbuatan itu maksudnya
pemenuhan mengakhiri perikatan, sedangkan lebih dari satu kali perbuatan
maksudnya pemenuhan yang terakhir mengakhiri perikatan.
3. Pengertian
wanprestasi
Wanprestasi artinya
tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak
dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua kemungkinan alasan, yaitu :
a. Karena
kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun kelalaian dan
b. Karena
keadaan memaksa (force majeure), diluar kemampuan debitor, jadi debitor tidak
bersalah.
Untuk menentukan apakah
seorang debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan
bagaimana debitor dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Dalam
hal ini, ada tiga keadaan yaitu :
a. Debitor
tidak memenuhi prestasi sama sekali.
b. Debitor
memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru, dan
c. Debitor
memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Akibat hukum bagi
debitor yang telah melakukan wamprestasi adalah hukuman atau sanksi hukum
berikut ini :
a. Debitor
diwajibkan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditor.[3]
b. Apabila
perikatan itu timbale balik, kreditor dapat menuntut pemutusan atau pembatalan
perikatan melalui pengadilan.[4]
c. Perikatan
untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitor sejak terjadi
wanprestasi.[5]
d. Debitor
diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan
disertai pembayaran ganti kerugian.[6]
e. Debitor
wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan negeri dan
debitor dinyatakan bersalah.
4. Akibat
adanya wanprestasi
Ada empat akibat adanya
wanprestasi, sebagaimana dikemukakan berikut ini :
a. Perikatan
tetap ada
Kreditor masih dapat
menuntut kepada debitor pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi
prestasi. Disamping itu, kreditor berhak untuk menuntut ganti rugi akibat
keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditor akan
mendapat keuntungan apabila debitor melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.
b. Debitor
harus membayar ganti rugi kepada kreditor (Pasal 1234 KUH Perdata).
c. Beban
resiko beralih untuk kerugian debitor jika halangan itu timbul setelah debitor
wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak
kreditor. Oleh karena itu, debitor tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan
memaksa.
d. Jika
perikatan lahir dari perjanjian timbale balik, kreditor dapat mebebaskan diri
dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUH
Perdata.
5. Tuntutan
atas dasar wanprestasi
Kreditor dapat menuntut
kepada debitor yang telah melakukan wanprestasi hal-hal sebagai berikut :
a. Kreditor
dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitor
b. Kreditor
dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitor (Pasal 1267 KUH
Perdata).
c. Kreditor
dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena
keterlambatan (H.R. 1 November 1918).
d. Kreditor
dapat menuntut pembatalan perjanjian
e. Kreditor
dapat menuntut pembatalab disertai ganti rugi kepada debitor. Ganti rugi itu
berupa pembayaran uang denda.
Akibat kelalaian kreditor
yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu :
a. Debitor
berada dalam keadaan memaksa
b. Beban
resiko beralih untyuk kerugian kreditor, dan dengan demikian debitor hanya
bertanggung jawab atas wanprestasi dalam hal ada kesengajaan atau kesalahan
besar lainnya.
c. Kreditor
tetap diwajibkan member prestasi balasan (Pasal 1602 KUH Perdata).
E. Ganti
rugi
Ada
dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi karena wanprestasi dan ganti
rugi karena perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena wanprestasi diatur dalam
Buku III KUH Perdata, yang dimulai dari Pasal 1234 KUH Perdata s.d Pasal 1252
KUH Perdata, sedangkan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum diatur dalam
Pasal 1365 KUH Perdata. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah suatu
bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan
kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi ini timbul karena adanya kesalahan,
bukan karena adanya perjanjian.
Yang
dimaksud dengan kerugian dalam pasal diatas adalah kerugian yang timbul karena
debitor melakukan wanprestasi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian tersebut
wajib diganti oleh debitor terhitung sejak dia dinyatakan lalai. Ganti kerugian
itu ada tiga unsur yaitu :
a. Ongkos
atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkos cetak, biaya materai, dan
biaya iklan.
b. Kerugian
sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik kreditor akibat kelalaian
debitor, misalnya busuknya buah-buahan karena terlambat melakukan penyerahan,
ambruknya gedung karena kesalahan konstruksi sehingga merusakkan perabot rumah
tangga.
c. Bunga
atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama piutang
terlambat dilunasi, keuntungan yang tidak diperoleh karena kelambatan
penyerahan bendanya.
·
Penggantian biaya, rugi, dan bunga
karena tidak dipenuhinya suatu perikatan
Dalam Pasal 1234 yaitu, penggantian
biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan,barulah mulai
diwajibkan apabuila debitur, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya,
tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya
hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya.
Pasal ini bermaksud untuk
menjelaskan mengapa seseorang dapat dibebani pembayaran ganti kerugian.
Penentuan mulainya perhitungan pembayaran ganti kerugian itu tergantung dari dada
tidaknya jangka waktu yang dijadikan patokan untuk kelalaian salah satu pihak.
Berdasarkan pasal ini, ada dua cara
penentuan titk awal perhitungan ganti kerugian, yaitu sebagai berikut :
a.
Jika dalam perjanjian itu tidak ditentukan
jangka waktu, pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak pihak tersebut
telah dinyatakan lalai, tetapi tetap melalaikannya.
b.
Jika dalam perjanjian tersebut telah
ditentukan jangka waktu tertentu,pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak
terlampauinya jangka waktu yang telah ditentukan tersebut.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam pembahasan diatas bisa kita
simpulkan bahwa perikatan adalah peristiwa hukum yang menciptakan hubungan
hukum antara pihak yang satu dan pihak yang lain. Dalam hubungan hukum
tersebut, setiap pihak memiliki hak dan kewajiban timbal balik. Pihak yang satu
mempunyai hak untuk menuntut sesuatu terhadap pihak lainnya dan pihak lain itu
wajib memenuhi tuntutan itu, juga sebaliknya. Dalam perikatan tersebut ada yang
dimaksud dengan prestasi. Prestasi yaitu objek perikatan, yaitu sesuatu yang
wajib dipenuhi oleh pihak yang dituntut (debitor) terhadap pihak penuntut
(kreditor).
Pengaturan perikatan didasarkan pada
sistem terbuka, maksudnya setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja,
baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang belum dalam undang-undang. Akan
tetapi, sisitem terbuka itu dibatasi oleh tiga hal yaitu :
·
Tidak dilarang undang-undang
·
Tidak bertentangan dengan ketertiban
hukum, dan
·
Tidak bertentangan dengan kesusilaan.
Sesuai dengan penggunaan system
terbuka, maka pasal 1233 KUHPdt menentukan bahwa perikattan dapat terjadi, baik
karena perjanjian maupun karena undang-undang.
Akhir kata
penulis masih tetap berharap agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
teman-teman yang lainnya. Sumbang saran dan kritik dosen, dan teman-teman
sekalian sangatlah penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah ini lebih
lanjut.
Sekian
dan Wassalam…….
DAFTAR PUSTAKA
1.
Muhammad,
Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia. Citra aditya bakti, Bandung 2010.
2.
Siregar,
Bismar, Kitab Undang-undang hukum perdata (KUH Perd). Sinar grafika, 1996
3.
Miru,
ahmadi, hukum perikatan.penjelasan makna pasal 1233 sampai 1456 BW
4.
Salim,
pengantar hukum perdata tertulis (BW), sinar grafika, 2002
5.
Muljadi,
kartini, perikatan yang lahir dari perjanjian. Pt Raja grafindo persada,
Jakarta, 2004
No comments:
Post a Comment