Thursday, 24 September 2015

hukum perdata tentang perikatan



       HUKUM PERDATA

PERIKATAN

 










OLEH
NAMA                                   :  MISNIATI
                                                NIM                                        : 152.102.055
KELASSEMESTER                        : V (LIMA)











BAB I
PENDAHULUAN
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah yang telah mengkaruniakan kita berbagai nikmat, shalawat serta salam juga kita ucapkan atas Muhammad SAW serta sahabatnya dan orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu membuat, mengadakan, maupun melaksanakan perjanjian. Hampir setiap aspek dari kehidupan manusia tidak dapat luput dari perjanjian. Perjanjian telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Walau demikian ternyata tidak semua orang mengerti makna dan pengaruh dari dibuatnya suatu perjanjian bagi harta kekayaannya. Sampai seberapa jauh seseorang dapat membuat perjanjian yang akan mengikat dirinya ataupun suatu pihak lain dalam kapasitas tertentu. Perjanjian seperti apa yang mengikat, dan bagaimana cara membuatnya? Apakah ada ketentuan khusus dan ketentuan umum dalam menyusun perjanjian, apa yang harus dipenuhi? Apakah setiap perjanjian yang telah dibuat dengan maksud untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dari sisi akademis maupun praktis.
Akhir kata penulis masih tetap berharap agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi teman-teman yang lainnya. Sumbang saran dan kritik dosen, dan teman-teman sekalian sangatlah penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah ini lebih lanjut.
Kuranji, September 2012
Penulis
Misniati
Dalam membahas tentang perikatan ini, bisa kita simpulkan berbagai rumusan masalahnya yaitu :
1.      Apa yang menyebabkan terjadinya perikatan ?
2.      Apa saja ketentuan-ketentuan umum dalam hukum perikatan ?
3.      Bagaimana dampak yang terjadi dalam perikatan ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian perikatan dan unsur-unsurnya
Istilah perikatan merupakan terjemahan dari kata verbintenis (Belanda). Namun ada ahli yang menggunakan istilah perutangan untuk menerjemahkan kata verbintes (Sri Soedewi Masjchoen, tt: l). dalam bahasa inggris disebut dengan obligation. Obligation hanya dilihat dari kewajiban saja. Perikatan dapat dipandang dari dua segi, yaitu hak dan kewajiban.
Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum (rechtsefeiten) yang dapat berupa :
a.       Perbuatan, Misalnya, jual beli, utang-piutang, hibah
b.      Kejadian, misalnya kelahiran,kematian, pohon tumbang, kambing makan tanaman di kebun tetangga.
c.       Keadaan, misalnya pekarangan berdampingan, rumah susun, kemiringan tanah pekarangan.
Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum antara pihak yang satu dan pihak yang lain. Dalam hubungan hukum tersebut, setiap pihak memiliki hak dan kewajiban timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu terhadap pihak lainnya dan pihak lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, juga sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut pihak penuntut (kreditor), sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut pihak yang dituntut (debitor). Sesuatu yang dituntut disebut prestasi.
Prestasi adalah objek perikatan, yaitu sesuatu yang wajib dipenuhi oleh pihak yang dituntut (debitor) terhadap pihak penuntut (kreditor). Prestasi selalu dapat dinilai dengan uang, dapat berupa pemenuhan benda tertentu (misalnya, harta kekayaan), atau melakukan perbuatan tertentu (misalnya, pekerjaan).
Ø  Pengaturan perikatan
Pengaturan perikatan didasarkan pada sistem terbuka, maksudnya setiap orang boleh mengadakan periakatan apa saja, baik yang sudah ditentukan namanya dalam undang-undang. Akan tetapi, sistem terbuka itu dibatasi oleh tiga hal, yaitu:
a.       Tidak dilarang undang-undang
b.      Tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan
c.       Tidak bertentangan dengan kesusilaan[1]
Para ahli memberikan definisi perikatan sebagai berikut.
Nieuwenhuis mengartikan perikatan sebagai :
“Hubungan hukum harta kekayaan antara dua orang atau lebih, dimana pihak yang satu (debitor) wajib melakukan prestasi, sedangkan pihak lain berhak atas suatu prestasi.” (Nieuwenhuis, 1985:l).
pendapat lain dikemukakan oleh C. Asser’s dan Sudikno Merto Kusumo. C. Asser’s mengartikan perikatan sebagai :
“ Hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih berdasarkan mana orang yang satu terhadap orang lainnya berhak atas suatu penunaian/prestasi dan orang lain ini terhadap orang itu berkewajiban atas penunaian/prestasi itu,” (Asser’s 1991 : 5).
Ciri khas perikatan menurut Asser’s adalah, bahwa perikatan merupakan hubungan hukum. Hubungan hukum adalah suatu hubungan yang diakui dan diatur oleh hukum. Hubungan hukum yang diatur oleh hukum, seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, dan lain-lain, sedangkan memenuhi undangan makan malam dan janji untuk jalan-jalan bukan merupakan hubungan hukum. Namun, ia dikuasai oleh   peraturan kesopanan.
1.      Asas-asas dan ketentuan umum tentang perjanjian
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Rumusan yang diberikan tersebut hendak memperlihatkan kepada kita semua, bahwa suatu perjanjian adalah :
a.       Suatu perbuatan.
b.      Antara sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang).
c.       Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji tersebut.[2]
Ø  Dalam pasal 1233 yaitu, tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, maupun karena undang-undang. Pasal ini seharusnya menerangkan tentang pengertian perikatan karena merupakan awal dari ketentuan hukum yang mengatur tentang perikatan. Namun, kenyataannya pasal ini hanya menerangkan tentang dua sumber lahirnya perikatan, yaitu  :
a.       Perjanjian, dan
b.      Undang-undang.

Perjanjian sebagai sumber perikatan ini, apabila dilihat dari bentuknya, dapat berupa perjanjian tertulis maupun perjanjian tidak tertulis. Sementara itu, sumber perikatan yang berupa undang-undang selanjutnya dapat dilihat dalam pasal 1352, yakni dapat dibagi atas :
a.       Undang-undang saja, maupun
b.      Undang-undang karena adanya perbuatan manusia.
Sumber perikatan yang bersumber dari undang-undang karena adanya perbuatan manusia, berdasarkan pasal 1353, juga dapat dibagi atas dua, yaitu :
a.       Perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum/halal, dan
b.      Perbuatan manusia yang melanggar hukum.
Begitu juga dalam pasal 1234 yaitu, tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Pasal ini menerangkan tentang prestasi atau cara pelaksanaan kewajiban, yaitu berupa:
a.       Memberikan sesuatu
b.      Berbuat sesuatu, dan
c.       Tidak berbuat sesuatu.
Ø  Perikatan-perikatan untuk memberika sesuatu, dilihat pada Pasal 1235 yaitu dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban debitur untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan. Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas terhadap perjanjian-perjanjian tertentu yang akibatnya mengenai hal ini akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan.
Pasal ini menerangkan tentang perjanjian yang bersifat konsensual (yang lahir pada saat tercapainya kesepakatan) yang objeknya adalah barang, dimana sejak saat tercapainya kesepakatan tersebut, orang yang seharusnya  menyerahkan barang itu harus tetap merawat dengan baik barang tersebut sebagaimana layaknya memelihara barang kepunyaan sendiri, sama halnya dengan merawat barang miliknya yang lain, yang tidak akan diserahkan kepada orang lain. Kewajiban merawat dengan baik, berlangsung sampai barang tersebut diserahkan kepada orang yang harus menerimanya.
Dalam ketentuan Pasal 1313  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk fikiran semata-mata. Atas dasar inilah kemudian dikenal adanya perjanjian konsensuil, perjanjian formil, dan perjanjian riil.
Dalam perjanjian konsensuil, kesepakatan yang dicapai oleh para pihak secara lisan, melalui ucapan saja telah mengikat para pihak. Dalam jual beli, sebagaimana dapat kita baca dari rumusan Pasal 1457 dan Pasal 1458 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa :
a.       Pasal 1457 : jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.
b.      Pasal 1458 : jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun harga itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.

2.      Syarat-syarat sahnya perjanjian
Pada uraian sebelumnya telah dikatakan bahwa syarat-syarat sahnya perjanjian dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi :
Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat :
a.       Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya.
b.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
c.       Suatu pokok persoalan tertentu.
d.      Suatu sebab yang tidak terlarang.


Unsur-unsur perikatan sebagai berikut :
v  Subjek perikatan
Subjek perikatan disebut juga pelaku perikatan. Perikatan yang dimaksud meliputi perikatan yang terjadi karena perjanjian dan karena ketentuan undang-undang. Pelaku perikatan dapat terdiri atas manusia pribadi dan dapat juga badan hukum atau persekutuan. Setiap pelaku perikatan yang mengadakan perikatan harus :
a.       Ada kebebasan menyatakan kehendaknya sendiri.
b.      Tidak ada paksaan dari pihak manapun.
c.       Tidak ada penipuan dari salah satu pihak, dan.
d.      Tidak ada kekhilafan pihak-pihak yang bersangkutan.
Pelaku perikatan dalam hubungan keluarga dapat berstatus sebagai pengasuh dan anak asuh, misalnya dalam hubungan orang tua dan anak, wali dan anak asuh, ataupun pengasuh bayi (baby sitter) dan bayi asuhan. Pelaku perikatan dalam hubungan perkawinan dapat berstatus sebagai suami dan istri, misalnya, pemberian nafkah dan pendidikan oleh suami kepada istri dan anak-anaknya. Pemberian perlindungan dan keselamatan oleh suami kepada istri dan anak-anaknya, ataupun pelayanan oleh istri terhadap kebutuhan suami dan anak-anaknya dalam keluarga.
Pelaku perikatan dalam hubungan pewarisan dapat  berstatus sebagai pewaris dan ahli waris, misalnya pembagian harta waris peninggalan pewaris kepada ahli waris. Pelaku perikatan dalam pewarisan dapat berstatus sebagai pemberi wasiat dan penerima wasiat, misalnya pembagian harta waris, bagian penerima wasiat tidak boleh merugikan bagian ahli waris.
v  Wenang berbuat
Setiap pihak dalam perikatan harus wenang berbuat menurut hukum dalam mencapai persetujuan kehendak (ijab kabul). Persetujuan kehendak adalah pernyataan saling memberi dan menerima secara riil dalam bentuk tindakan nyata, pihak yang satu menyatakan memberi sesuatu kepada dan menerima sesuatu dari pihak lain, dan pihak lain juga menyatakan memberi sesuatu kepada dan menerima sesuatu dari pihak yang satu tentang isi perikatan. Dengan kata lain, persetujuan kehendak (ijab kabul) adalah pernyataan saling memberi dan menerima secara riil yang mengikat kedua pihak.
Setiap pihak dalam perikatan harus memenuhi syarat-syarat wenang berbuat menurut hukum yang ditentukan oleh undang-undang sebagai berikut :
a.       Sudah dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun penuh.
b.      Walaupun belum dewasa, tetapi sudah pernah menikah
c.       Dalam keadaan sehat akal (tidak gila).
d.      Tidak berada dibawah pengampunan, dan.
e.       Memiliki surat kuasa jika mewakili pihak lain.
Persetujuan kehendak menyatakan saat kedua pihak terikat untuk saling memenuhi kewajiban dan saling memperoleh hak dalam setiap perikatan. Persetujuan kehendak juga menentukan saat kedua pihak mengakhiri perikatan karena tujuan pihak-pihak  sudah tercapai. Misalnya, dalam perikatan jual beli kendaraan bermotor, terjadinya perikatan jual beli baru dalam taraf  menimbulkan kewajiban dan hak masing-masing pihak. Kewajiban dan hak kedua pihak baru dapat dilaksanakan pemenuhannya sejak terjadi persetujuan kehendak. Artinya, pembeli melakukan pembayaran harga dan penjual menyerahkan kendaraan bermotor dalam keadaan baik. Sejak kedua pihak selesai memenuhi kewajiban dan memenuhi kewajiban dan memperoleh hak masing-masing, sejak itu pula tujuan kedua pihak tercapai dan mengakhiri perikatan (akad).
Oleh sebab itu, dapat dinyatakan bahwa perikatan menurut system hukum perdata, baru dalam taraf menimbulkan kewajiban dan hak pihak-pihak, sedangkan persetujuan kehendak adalah pelaksanaan atau realisasi kewajiban dan hak pihak-pihak sehingga kedua belah pihak memperoleh hak masing-masing. Penjual memperoleh pembayaran harga kendaraan bermotor, sedangkan pembeli memperoleh kendaraan bermotor. Sejak pihak-pihak memperoleh hak masing-masing itu, sejak itu pula perikatan mencapai tujuan dan berakhir dengan sukses.
Bagaimana halnya jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sehingga pihak lainnya tidak memperoleh hak dalam perikatan ? dalam hal ini dikatakan bahwa pihak yang tidak memenuhi kewajibannya itu telah melakukan wanprestasi yang merugikan pihak lain. Dengan kata lain, pelaksanaan hak dan kewajiban yang disepakati tidak mencapai tujuan secara normal. Oleh karena itu, pihak yang wanprestasi wajib bertanggung jawab kepada pihak yang dirugikan untuk mengganti kerugian terhadap pihak lain yang haknya dirugikan, baik melalui perdamaian maupun melalui penyelesaian di muka pengadilan.
v  Objek perikatan (prestasi)
Objek perikatan dalam hukum perdata selalu berupa benda. Benda adalah objek setiap barang dan hak halal yang dapat dimiliki dan dinikmati orang. Dapat dimiliki dan dinikmati orang maksudnya member manfaat atau mendatangkan keuntungan secara halal bagi orang yang memilikinya, misalnya kendaraan bermotor, rumah, perhiasan, makanan, hak kekayaan intelektual, dan piutang. Selain itu, benda dapat berupa benda berwujud, yaitu benda yang dapat diraba, dilihat, atau adda bentuk nyata, seperti buku, rumah, atau kendaraan bermotor. Sedangkan benda tidak berwujud, yaitu benda yang tidak dapat dilihat, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak cipta, hak merek, dan hak paten.
Benda objek perikatan harus benda perdagangan sesuai dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan masyarakat, dan bermanfaat. Benda yang dilarang untuk diperjualbelikan secara umum karena merugikan jasmani dan rohani, antara lain narkoba, ganja, miras, bendda mendatangkan mudharat, seperti mengandung racun, formalin, virus flu burung, bibit antraks, bibit penyakit sapi gila, buku forno, ilmu santet, ilmu sihir, ilmu hipnotis, ataupun benda hasil kejahatan, semua itu dilarang, tidak boleh dijadikan objek perikatan.
v  Tujuan perikatan
Tujuan pihak-pihak mengadakan perikatan adalah terpenuhinya prestasi bagi kedua belah pihak. Prestasi yang dimaksud harus halal, artinya tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat.
1.      Adanya hubungan hukum
2.      Adanya dua pihak, yaitu pihak kreditor dan debitor. Kreditor adalah orang atau badan hukum yang berhak atas suatu prestasi. Pihak debitor, yaitu orang atau badan hukum yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi.
3.      Adanya hak dan kewajiban
4.      Adanya prestasi
5.      Dalam bidang hukum harta kekayaan
Prestasi adalah apa yang menjadi pokok perikatan. Misalnya, dalam perjanjian jual beli rumah yang menjadi pokok perikatannya adalah menyerahkan hak milik atas rumah kepada pembeli, dan pembeli menyerahkan uang kepada penjual. Contoh lainnya dalam perjanjian kerja, maka yang menjadi perikatan (prestasi) adalah melakukan pekerjaan dan menyerahkan upah.
B.     Jenis-jenis perikatan
Pada dasarnya jenis perikatan dapat dibedakan menjadi dua jenis :
Perikatan perdata (obligation verbintenis) dan perikatan wajar (natuurlijk verbintenis). Perikatan perdata atau disebut juga dengan obligation verbintenis adalah suatu perikatan yang dapat ddituntut di muka dan dihadapan pengadilan manakala salah satu pihak atau lebih telah melakukan wanprestasi. Contoh, A berutang kepada B sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan berjanji akan membayarnya pada tanggal 25  januari 1996. Namun, pada tanggal tersebut A tidak membayar utangnya. Ada dua tindakan yang dapat dilakukan oleh B, yaitu :
a.       Memberikan teguran atau somasi sebanyak 3 kali kepada A dan
b.      Apabila teguran itu tidak diindahkan, maka B dapat menuntut/meminta kepada pengadilan supaya A dapat melunasi utangnya pada B, sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat diantara mereka. Perikatan wajar atau natuurlijk verbintenis adalah suatu perikatan yang timbul karena adanya perjudian. Perikatan seperti itu tidak dapat dituntut di depan pengadilan. Namun secara moral pihak si berutang berkewajiban untuk melunasi utangnya.
Perikatan perdata dibagi menjadi enam jenis, yaitu :
a.       Perikatan bersyarat
Dapat dilihat pada Pasal 1253 yaitu, suatu  perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Pasal ini menerangkan tentang perikatan bersyarat, yaitu perikatan yang lahir atau berakhirnya digantungkan pada peristiwa yang mungkin akan terjadi. Berdasarkan pasal ini dapat diketahui bahwa perikatan bersyarat dapat dibedakan atas dua, yaitu :
·         Perikatan dengan syarat tangguh, dan
·         Periakatan dengan syarat berakhir.
Walaupun dimungkinkan periakatan dibuat dengan bersyarat, syarat tersebut harus syarat yang masuk akal dan tidak terlarang baik oleh kesusilaan maupun oleh undang-undang.
Ketentuan ini tampaknya dimaksudkan untuk menghindari seseorang untuk berbuat sesuatu yang tidak masuk akal, bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan undang-undang hanya karena dorongan untuk lahirnya atau berakhirnya suatu perjanjian.
b.      Perikatan berdasarkan ketetapan waktu
Dalam pasal 1268 dapat dilihat yaitu, suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya. Ini berari bahwa perjanjian dengan ketetapan waktu ini pada dasarnya perikatan telah lahir, hanya saja pelaksanaannya yang tertunda sampai waktu yang ditentukan.
Sebagai contoh, kalau kita mengadakan perjanjian dengan pihak lain kemudian disepakati bahwa perjanjian tersebut mulai berlaku atau penyerahan barang yang diperjanjikan tanggal 1 januari tahun depan.
c.       Perikatan alternative
Dalam Passal ini bisa kita ketahui yaitu, Tentang perikatan-perikatan manasuka debitur dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak dapat memaksa kreditor untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari baranga yang lainnya.
Dalam perikatan alternative ini debitur telah bebas jika telah mnyerahkan salah satu dari dua atau lebih barang yang dijadikan alternative pembayaran. Misalnya, yang dijadikan alternative adalah dua ekor sapi atau dua ekor kerbau, maka kalau debitur menyerahkan dua ekor kerbau saja, debitur telah dibebaskan.
Walaupun demikian, debitur tidak dapat memaksa kepada kreditor untuk menerima sebagian barang lainnya. Jadi, debitur tidak dapat memaksa kreditor untuk menerima seekor sapi dan seekor kerbau.
d.      Perikatan tanggung renteng
Dalam Pasal 1278 yaitu suatu perikatan tanggung menanggung atau perikatan tanggung renteng terjadi antara beberapa orang kreditor, jiuka di dalam perjanjian secara tegas kepada massing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh utang sedang pembayaran yang dilakukan kepada salah satu membebaskan debitur meskipun perikatan menurut sifatnya dapat dipecah dan dibagi diantara beberapa orang kreditor tadi.
Dalam perjsnjian yang pihak kreditornya terdiri atas beberapa orang, dapat dilakukan secara tanggung-menanggung asal ditegaskan dalam perjanjian, yatu bahwa semua kreditor masing-masing dapat meminta pelunasan seluruh utang dari debitur. Dengan demikian, pelunasan utang tersebut kepada  salah seorang kreditor, maka debitur akan bebas terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hal ini berlaku, walaupun terhadap piutang yang berdasarkan sifatnya dapat dibagi-bagi kepada para kreditor, misalnya si Y berutang Rp. 3.000.000,00 kepada P, Q, dan R, walaupun uang tersebut dapat dibagi tiga masing-masing Rp. 1.000.000,00 kepada masing-masing P,Q, dan R. apalagi akalu sifat piutang tersebut memang tidak dapat dibagi. salnya si X berutang seekor kuda kepada si A,B dan C. piutang semacam ini jelas tidak dapat dibagi kepada masing-masing A, B
e.       Perikatan dapat dibagi-bagi dan tak dapat dibagi-bagi
f.       Perikatan dengan ancaman hukuman (Pasal 1253 KUH Perdata s.d Pasal 1312 KUH Perdata).
C.     Somasi
1.      Dasar hukum dan pengertiannya
Istilah pernyataan lalai atau somasi merupakan terjemahan dari ingebrekestelling. Somasi ini diatur di dalam Pasal 1238 KUH Perdata dan Pasal 1234 KUH Perdata. Somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditor) kepada si berutang (debitor) agar dapat memenuhi prestasi prestassi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya.
Somasi timbul disebabkan debitor tidak memenuhi prestasinya sesuai dengan yang diperjanjikan. Ada tiga cara terjadinya somasi itu, sebagai berikut :
a.       Debitor melaksanakan prestasi yang keliru, misalnya kreditor menerima sekeranjang jambu seharusnya sekeranjang apel.
b.      Debitor tidak memenuhi prestasi pada hari  yang telah dijanjikan. Tidak memenuhi prestasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelambatan melaksanakan prestasi dan sama sekali tidak memberikan prestasi. Penyebab tidak melaksanakan sama sekali karena prestasi tidak mungkin dilaksanakan atau karena debitor terang-terangan menolak menolak memberikan prestasi.
c.       Prestasi yang dilaksanakan oleh debitor tidak lagi berguna bagi kreditor  setelah lewat waktu yang diperjanjikan.
D.    Prestasi dan Wanprestasi
1.      Konsep prestasi
Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor. Dalam pasal 1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan bahwa harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang aka nada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditor. Namun, jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang dittetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan pasal 1234 KUHPdt, selalu ada tiga kemungkinan wujud prestasi, yaitu :
a.       Memberikan sesuatu, misalnya menyerahkan benda, membayar harga benda, dan memberikan hibah penelitian.
b.      Melakukan sesuatu, misalnya membuatkan pagar pekarangan rumah, mengangkut barang tertentu, dan menyimpan rahasia perusahaan.
c.       Tidak melakukan sesuatu, misalnya tidak melakukan persaingan curang, tidak melakukan dumping, dan tidak menggunakan merek orang lain.
2.      Sifat prestasi
Prestasi adalah objek perikatan. Supaya objek perikatan itu dapat dipenuhi oleh debitor, maka perlu diketahui sifat-sifatnya yaitu :
a.       Prestasi harus sudah tertentu atau dapat ditentukan
Sifat ini memungkinkan debitor memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan, mengakibatkan perikatan itu batal (nietig)
b.      Prestasi itu harus mungkin
Artinya, prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitor secara wajar dengan segala upayanya. Jika tidak demikian, perikatan itu dapat dibatalkan (vernietigbaar).
c.       Prestasi itu harus dibolehkan (halal)
Artinya, tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat. Jika prestasi tidak halal, perikatan itu batal (nietig).
d.      Prestasi itu harus ada manfaat bagi kreditor
Artinya, kreditor dapat menggunakan, menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan itu dapat dibatalkan. (vernietigbaar).
e.       Prestasi itu terdiri atas satu perbuatan atau serentetan perbuatan
Jika prestasi berupa satu kali perbuatan dilakukan lebih dari satu kali, dapat mengakibatkan pembatalan perikatan (vernietigbaar). Satu kali perbuatan itu maksudnya pemenuhan mengakhiri perikatan, sedangkan lebih dari satu kali perbuatan maksudnya pemenuhan yang terakhir mengakhiri perikatan.
3.      Pengertian wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua kemungkinan alasan, yaitu :
a.       Karena kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun kelalaian dan
b.      Karena keadaan memaksa (force majeure), diluar kemampuan debitor, jadi debitor tidak bersalah.
Untuk menentukan apakah seorang debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitor dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Dalam hal ini, ada tiga keadaan yaitu :
a.       Debitor tidak memenuhi prestasi sama sekali.
b.      Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru, dan
c.       Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Akibat hukum bagi debitor yang telah melakukan wamprestasi adalah hukuman atau sanksi hukum berikut ini :
a.       Debitor diwajibkan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditor.[3]
b.      Apabila perikatan itu timbale balik, kreditor dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan melalui pengadilan.[4]
c.       Perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitor sejak terjadi wanprestasi.[5]
d.      Debitor diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian.[6]
e.       Debitor wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan negeri dan debitor dinyatakan bersalah.
4.      Akibat adanya wanprestasi
Ada empat akibat adanya wanprestasi, sebagaimana dikemukakan berikut ini :
a.       Perikatan tetap ada
Kreditor masih dapat menuntut kepada debitor pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Disamping itu, kreditor berhak untuk menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditor akan mendapat keuntungan apabila debitor melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.
b.      Debitor harus membayar ganti rugi kepada kreditor (Pasal 1234 KUH Perdata).
c.       Beban resiko beralih untuk kerugian debitor jika halangan itu timbul setelah debitor wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak kreditor. Oleh karena itu, debitor tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa.
d.      Jika perikatan lahir dari perjanjian timbale balik, kreditor dapat mebebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata.
5.      Tuntutan atas dasar wanprestasi
Kreditor dapat menuntut kepada debitor yang telah melakukan wanprestasi hal-hal sebagai berikut :
a.       Kreditor dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitor
b.      Kreditor dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitor (Pasal 1267 KUH Perdata).
c.       Kreditor dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena keterlambatan (H.R. 1 November 1918).
d.      Kreditor dapat menuntut pembatalan perjanjian
e.       Kreditor dapat menuntut pembatalab disertai ganti rugi kepada debitor. Ganti rugi itu berupa pembayaran uang denda.
Akibat kelalaian kreditor yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu :
a.       Debitor berada dalam keadaan memaksa
b.      Beban resiko beralih untyuk kerugian kreditor, dan dengan demikian debitor hanya bertanggung jawab atas wanprestasi dalam hal ada kesengajaan atau kesalahan besar lainnya.
c.       Kreditor tetap diwajibkan member prestasi balasan (Pasal 1602 KUH Perdata).
E.     Ganti rugi
Ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi karena wanprestasi dan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena wanprestasi diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang dimulai dari Pasal 1234 KUH Perdata s.d Pasal 1252 KUH Perdata, sedangkan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi ini timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian.
Yang dimaksud dengan kerugian dalam pasal diatas adalah kerugian yang timbul karena debitor melakukan wanprestasi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitor terhitung sejak dia dinyatakan lalai. Ganti kerugian itu ada tiga unsur yaitu :
a.       Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkos cetak, biaya materai, dan biaya iklan.
b.      Kerugian sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik kreditor akibat kelalaian debitor, misalnya busuknya buah-buahan karena terlambat melakukan penyerahan, ambruknya gedung karena kesalahan konstruksi sehingga merusakkan perabot rumah tangga.
c.       Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama piutang terlambat dilunasi, keuntungan yang tidak diperoleh karena kelambatan penyerahan bendanya.
·         Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan
Dalam Pasal 1234 yaitu, penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan,barulah mulai diwajibkan apabuila debitur, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Pasal ini bermaksud untuk menjelaskan mengapa seseorang dapat dibebani pembayaran ganti kerugian. Penentuan mulainya perhitungan pembayaran ganti kerugian itu tergantung dari dada tidaknya jangka waktu yang dijadikan patokan untuk kelalaian salah satu pihak.
Berdasarkan pasal ini, ada dua cara penentuan titk awal perhitungan ganti kerugian, yaitu sebagai berikut :
a.       Jika dalam perjanjian itu tidak ditentukan jangka waktu, pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak pihak tersebut telah dinyatakan lalai, tetapi tetap melalaikannya.
b.      Jika dalam perjanjian tersebut telah ditentukan jangka waktu tertentu,pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak terlampauinya jangka waktu yang telah ditentukan tersebut.






BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
            Dalam pembahasan diatas bisa kita simpulkan bahwa perikatan adalah peristiwa hukum yang menciptakan hubungan hukum antara pihak yang satu dan pihak yang lain. Dalam hubungan hukum tersebut, setiap pihak memiliki hak dan kewajiban timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu terhadap pihak lainnya dan pihak lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, juga sebaliknya. Dalam perikatan tersebut ada yang dimaksud dengan prestasi. Prestasi yaitu objek perikatan, yaitu sesuatu yang wajib dipenuhi oleh pihak yang dituntut (debitor) terhadap pihak penuntut (kreditor).
            Pengaturan perikatan didasarkan pada sistem terbuka, maksudnya setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja, baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang belum dalam undang-undang. Akan tetapi, sisitem terbuka itu dibatasi oleh tiga hal yaitu :
·         Tidak dilarang undang-undang
·         Tidak bertentangan dengan ketertiban hukum, dan
·         Tidak bertentangan dengan kesusilaan.
            Sesuai dengan penggunaan system terbuka, maka pasal 1233 KUHPdt menentukan bahwa perikattan dapat terjadi, baik karena perjanjian maupun karena undang-undang.
Akhir kata penulis masih tetap berharap agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi teman-teman yang lainnya. Sumbang saran dan kritik dosen, dan teman-teman sekalian sangatlah penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah ini lebih lanjut.
Sekian dan Wassalam…….
                                                 



DAFTAR PUSTAKA

1.      Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia. Citra aditya bakti, Bandung 2010.
2.      Siregar, Bismar, Kitab Undang-undang hukum perdata (KUH Perd). Sinar grafika, 1996
3.      Miru, ahmadi, hukum perikatan.penjelasan makna pasal 1233 sampai 1456 BW
4.      Salim, pengantar hukum perdata tertulis (BW), sinar grafika, 2002
5.      Muljadi, kartini, perikatan yang lahir dari perjanjian. Pt Raja grafindo persada, Jakarta, 2004








[1] KUHPdt. Bab IV
[2] Pasal 1313 KUH Perdata
[3] Pasal 1234 KUHPdt
[4] Pasal 1266 KUHPdt
[5] Pasal 1237  ayat (2) KUHPdt
[6] Pasal 1267 KUHPdt
www.hukumperikatan.com